Moaning Coffee

Coffee

Dengan kopi, aku tak butuh cahaya mentari untuk terjaga.

Menghirup wangi ekstrak biji kopi yang membaur sempurna dengan air panas, memberi sensasi hangat yang menggetarkan bulu roma. Menyesap kafein yang begitu lembut menggigit bibir, bagai ciuman nakal kekasih yang menagih serangan fajar setelah bercinta semalaman.

“Kamu minum kopi atau bersenggama? Kok terlihat menikmati sekali?”

Hampir saja kutumpahkan cairan surgawi itu dari mulutku. Ternyata bukan cuma aku yang tersisa di kantor di pagi buta ini. Ada Cindy, yang sepertinya begadang untuk menyelesaikan konsep presentasi untuk klien. Entah kenapa aku suka dengan penampilan bos ku kali ini: tanpa riasan wajah dan rambutnya yang digerai, tak diikat rapi seperti biasanya. Seperti kopi hitam: seksi dengan alami, tanpa pemanis apapun.

“Saya tidak terima jika kopi disamakan dengan seks. Menurut saya kopi lebih nikmat,” aku tersenyum tanpa sengaja. Ia membalas senyumku dan dengan anggun duduk di tepi meja kerjaku, mengalihkanku dari desain dan animasi komputer yang menjadi rutinitasku.

“Jadi kopi yang membuatmu jomblo… biar aku hitung… 25 tahun?”

“Bukan. Kopi membuat saya tenang dan bisa berkata… nanti pasti ada waktunya.” Kembali aku menyeruput kopi, untuk tambahan energi pengendalian diri.

Ia mencondongkan tubuhnya, melihat lebih dekat ke cangkir kopiku. Wangi parfum black orchid dari tubuhnya membelai hidungku. Duhai Kopi, wanita ini sepertinya ingin menguji kesetiaanku padamu.

“Kenapa kopi hitam? Apa ada filosofi, seperti pahitnya melambangkan cobaan hidup?”

“Bukan. Saya suka kopi hitam, karena seperti musik, saya suka metal.”

“Menarik. Kalau aku suka jazz, cocoknya minum kopi apa?”

Aku memandang matanya, yang berbinar sayu layaknya rembulan di malam biru.

“Irish Coffee…”

Suara klakson mobil menggema, membuat ia tidak jadi mendengarkan penjelasanku tentang Kopi Irlandia: kopi yang dicampur dengan wiski. Karena dia manis sekaligus memabukkan.

“Eh, sorry ya, cowokku sudah jemput nih. Next time ajak aku ke tempat kopi itu disajikan ya.”

“Pasti. And it will be my treat.”

Aku telah siap kembali tenggelam ke layar monitor ketika beberapa saat kemudian ia tiba-tiba kembali.

“Terkadang…” desahnya, sambil meraih cangkir kopiku dan menyesap yang tersisa, tepat di bekas posisi bibirku. “Kamu perlu pemanis dalam kopimu, dan aransemen berbeda untuk musikmu.”

Dibalik punggungnya yang perlahan menjauh pergi, aku tak kuasa menahan diri untuk menyesap kopi dengan bekas bibirnya.

Rasanya manis, ringan dan harum. Tapi ini bukan gula. Ini…

Cinnamon candy (permen kayu manis) … and black coffee. Perfect match, me and Cindy.”

Aku tersipu, sementara kopiku baru kenal cemburu.

 

#DiBalikSecangkirKopi #IniBaruHidup

Twitter: @medysofyan

Facebook: Muhammad Edy Sofyan

One thought on “Moaning Coffee

  1. Pingback: Menyelami Romantisnya Nescafe: Ada Cinta di Tiap Proses Pembuatannya | Sugar Hater

Leave a comment